Jejenews.co.id, Surabaya — Puluhan mahasiswa yang memadati depan Gedung Negara Grahadi, Senin siang (20/10/2025).
“Kembalikan TNI ke Barak” dan “Demokrasi Bukan Militerisasi”, massa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Nusantara (BEM NUS) Jatim berorasi menandai satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Aksi ini bukan sekadar seremonial tahunan. Bagi BEM NUS Jatim, ini adalah bentuk peringatan terhadap arah kekuasaan yang dinilai semakin menjauh dari semangat reformasi.
“Janji perubahan dan keberpihakan pada rakyat kini hanya tinggal retorika,” ujar Helvin Rosiyanda Putra, Koordinator Pusat BEM NUS Jatim di sela aksi, (20/10).
“Yang kita lihat justru negara yang semakin elitis, anti kritik, dan sibuk memperluas peran militer di ranah sipil.”
Salah satu sorotan utama BEM NUS Jatim adalah meningkatnya pelibatan TNI dalam urusan-urusan sipil dan pemerintahan, mulai dari proyek infrastruktur, pangan, hingga program sosial seperti Makan Bergizi Gratis (MBG).
Dalam pandangan mahasiswa, kecenderungan ini bukan sekadar kebijakan teknis, melainkan gejala yang lebih dalam: normalisasi peran militer di ruang sipil, yang selama ini telah dipagari oleh semangat reformasi sektor keamanan.
“Reformasi 1998 bukan hanya soal jatuhnya rezim, tapi soal menata ulang relasi antara militer dan sipil,” kata seorang peserta aksi dari Universitas Dr. Soetomo. “Ketika militer kembali diberi ruang mengatur urusan rakyat, itu artinya sejarah sedang diputar balik.”
BEM NUS Jatim juga menyoroti konflik-konflik agraria yang melibatkan aparat militer, termasuk rencana pembebasan lahan seluas 50 hektar di Kaligentong, Tulungagung, untuk pembangunan Markas Batalyon Teritorial Pembangunan (Batalyon TP). Menurut mereka, proyek itu dilakukan tanpa transparansi dan berpotensi mengancam ruang hidup warga sekitar.
Lima (5) Tuntutan Mahasiswa.
Dalam pernyataan sikapnya, BEM NUS Jatim menyampaikan lima poin tuntutan yang menyoroti persoalan struktural di balik kebijakan pemerintah selama setahun terakhir:
1. **Menolak pembebasan 50 hektar lahan di Kaligentong, Tulungagung**, yang direncanakan menjadi lokasi Markas Batalyon TP, karena mengancam hak warga atas tanah dan lingkungan hidup.
2. **Mendesak Kementerian ATR/BPN** untuk bersikap lebih selektif, transparan, dan berpihak pada rakyat kecil dalam setiap proses pembebasan lahan.
3. **Menuntut penarikan militer dari ranah sipil**, serta penegakan prinsip **supremasi sipil dan peradilan umum** bagi anggota TNI yang melakukan pelanggaran.
4. **Mengecam praktik penggiringan opini publik** melalui buzzer atau propaganda digital yang dikaitkan dengan lembaga militer.
5. **Menuntut evaluasi total Program Makan Bergizi Gratis (MBG)** yang dipimpin oleh TNI, menyusul beberapa kasus keracunan massal di berbagai daerah.
Satu Tahun yang Penuh Kontradiksi.
Bagi mahasiswa, peringatan satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran bukan hanya tentang capaian, melainkan juga tentang kontradiksi antara janji dan realita.
Dalam kampanyenya, Prabowo menjanjikan keberpihakan pada rakyat kecil, kedaulatan pangan, dan pemerintahan yang kuat namun berkeadilan. Namun, setahun berjalan, mahasiswa menilai arah kebijakan justru memperkuat sentralisasi kekuasaan, mempersempit ruang sipil, dan memperlihatkan kembalinya pola-pola lama yang pernah dikritik era reformasi.
“Pemerintahan ini terlalu sering mengedepankan simbol kekuatan ketimbang substansi keadilan,” kata salah satu mahasiswa dari Universitas Brawijaya. “Ketika kritik dibungkam dan peran militer dilebarkan, maka demokrasi kita sedang mengalami kemunduran.”
Aksi di Lapangan: Simbol dan Perlawanan.
Aksi di depan Grahadi berlangsung sejak pagi hingga sore hari. Mahasiswa bergantian berorasi di atas mobil komando, sementara sebagian lainnya duduk di jalan sambil mengangkat poster bertuliskan “Negara Bukan Milik Seragam” dan “Reformasi Belum Selesai”.
Polisi menjaga ketat lokasi aksi dengan barikade kawat berduri di depan pagar Grahadi. Meski sempat terjadi dorong-dorongan kecil, aksi berlangsung damai. Di penghujung kegiatan, massa menyanyikan “Darah Juang” dan mengibarkan bendera merah putih dengan pita hitam di tengahnya — simbol duka atas “memudarnya demokrasi.”
Refleksi: Demokrasi di Persimpangan Jalan.
Aksi BEM NUS Jatim di Surabaya bukan peristiwa tunggal. Dalam beberapa pekan terakhir, aksi serupa juga muncul di Yogyakarta, Bandung, dan Makassar, dengan tema yang senada : kekecewaan atas arah pemerintahan yang dianggap makin menjauh dari rakyat.
Satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran menjadi momen reflektif bagi banyak kalangan: apakah demokrasi Indonesia masih berada di jalur reformasi, atau justru sedang berbelok ke arah lain.
“Ini bukan sekadar aksi protes,” tulis BEM NUS Jatim dalam pernyataannya. “Ini adalah pengingat bahwa demokrasi bukan hadiah dari kekuasaan, tapi hasil perjuangan yang harus terus dijaga.”
Hingga artikel ini diterbitkan, pihak Istana dan Kementerian Pertahanan belum memberikan tanggapan resmi atas kritik dan tuntutan yang disampaikan BEM NUS Jatim. Namun, aksi mahasiswa di Grahadi hari ini memperlihatkan satu hal yang pasti: suara kritis kampus belum padam, dan mahasiswa masih memegang peran penting sebagai penjaga nurani publik — terutama di tengah politik yang kian gemuk oleh kekuasaan.
(Ri/red/jejenews)


Komentar
