Surat Kepala Desa Buktikan Klaim Ahli Waris, Rencana Pebuatan Jembatan Kontroversi Dipertanyakan

Iklan Atas Semua Halaman

.

https://jejetrans.com/

Loading...

Surat Kepala Desa Buktikan Klaim Ahli Waris, Rencana Pebuatan Jembatan Kontroversi Dipertanyakan

 

Tuban, JejeNews.co.id – Polemik pembangunan jembatan di Desa Tingkis kian jadi pertanyaan. Marno, warga setempat yang berencana membangun jembatan di depan rumah Vivit anak dari Muksin mendapat sorotan tajam dari pihak ahli waris tanah tersebut.


Mediasi pun dilakukan di Balai Desa Tingkis dengan menghadirkan kedua belah pihak. Hadir dalam forum tersebut Kamituwo Mono dan Modin Riduwan sebagai perwakilan pemerintah desa. Dalam proses mediasi, pihak kelurahan membuka buku kretek desa, yang menjadi dasar administrasi pertanahan desa. Hasilnya mengejutkan tanah yang disengketakan tidak tercatat atas nama siapapun, bahkan desa sekalipun.


Temuan ini menegaskan bahwa tanah di depan rumah Vivit berstatus tanah tidak bertuan. Namun berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Pasal 20 Ayat (1) Hak Milik adalah hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah.


Muksin, selaku ahli waris almarhumah Suparni, menegaskan bahwa keluarganya lah yang memiliki hak kelola awal atas tanah tersebut. Bahkan, bukti administratif berupa surat resmi dari Kepala Desa Tingkis memperkuat klaim itu. (22/08). 


Dalam surat bernomor 800/166/414.407.11/2925 tertanggal 21 Agustus 2025, Kepala Desa mengirimkan permohonan izin penggunaan lahan yang ditujukan kepada Muksin. Surat tersebut secara jelas menyatakan bahwa permohonan pembangunan jembatan oleh Sumarno membutuhkan persetujuan dari Muksin sebagai ahli waris sah Suparni.


Isi surat itu berbunyi:


"Sehubungan dengan surat permohonan penggunaan lahan untuk jembatan atas nama pribadi yang disampaikan oleh Bapak Sumarno, dengan ini kami meminta kesediaannya untuk memberikan izin kepada bapak Sumarno. Mengingat bapak adalah selaku ahli waris SUPARNI yang telah mengelola lahan tanah tersebut."


Dengan adanya dokumen tersebut, posisi Marno dalam rencana pembangunan jembatan semakin dipertanyakan. Alih-alih melangkah sepihak, ia harus menunggu restu dari ahli waris yang diakui secara administratif maupun hukum agraria.


Kontroversi ini pun memunculkan pertanyaan publik: apakah tanah yang tidak bertuan dapat serta-merta digunakan oleh siapa saja, atau harus tetap tunduk pada jejak pengelolaan terdahulu sesuai ketentuan UUPA?. (So)